Kamis, 19 Maret 2009

Syairku

Syair

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, maka aku senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Karena Kau singkapkan tabir sehingga aku dapat menatap-Mu
Pujian bukanlah hakku,
hanya Engkaulah yang pantas mendapat pujian



Allah




Syair

Dalam hatiku, kujadikan Engkau sebagai juru bicaraku
Keserahkan tubuhku pada orang yang menemaniku
Tubuhku ini menjadi kawan sahabatku
Sementara Buah hatiku (Tuhan) dalam hatiku menemani diriku

Mengapa ???Dia datang???

Saat mentari mulai tertutup
Kulihat ada baying semu di baliknya
Ada harapan terpendam
Dari senyuman yang tak punya arti

Mengapa dia datang?
Disaat hati mulai tenang
Disaat hati tak bimbang lagi

Harapan yang tertinggal
Kini meninggalkan kenangan baru lagi
Meninggalkan bekas yang kadang mengoyak hati

Ketika bertanya pada keadilan
Tak satupun jawaban yang hadir
Ini tentu sudah takdir
Takdir yang harus ku terima
Dengan keikhlasan yang mengantar kepergiannya

By: Nurul

Bagaimana Sosok Seorang Pemimpin yang Didambakan?

“Pernahkah lo’ denger mafia judi
Katanya banyak uang suap polisi
Tentara jadi pengawal pribadi

Apa lo’ tahu mafia narkoba
Keluar masuk jadi bandar di penjara
Terhukum mati…tapi bisa ditunda

Siapa yang tahu mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan … bisa dapet perawan
Kacau balau… kacau balau negaraku ini

Ada yang tahu mafia peradilan
Gak langganan hukum di kirimi demo
Dikasih uang … se..habis perkara

Apa bener ada mafia pemilu
Entah gaptek atau manipulasi data
Menjual beli … su..suara rakyat

Mau tahu gak mafia di Senayan
Kerjaannya tukang buat peraturan
Bikin UUD … ujung-ujungnya duit
Kacau balau … kacau balau negaraku ini

Pernah nggak denger teriakan Allahu Akbar
Pake peci tapi kelakuan barbar
Ngerusakin banget … orang ditampar-tampar

Ooo … ooo …yee

Kacau balau … kacau balau negaraku ini 2x


(Gossip Jalanan,SLANK)

Oleh : Nurul Jummah

Lagu Slank yang menjadi kontroversial di atas sudah menggambarkan betapa terpuruknya kepemimpinan di Indonesia. Berbagai budaya pejabat mereka ungkapkan secara detail dan ini tentu benar. Banyaknya mafia-mafia yang turut mendorong kemerosotan negara ini menyebabkan kacau balau yang menimpa negara kita. Mafia judi yang katanya sering suap polisi, mafia narkoba yang jadi bandar di penjara, mafia selangkangan yang dengan uangnya mampu mendapat perawan, mafia peradilan yang dengan mudahnya dapat bebas dari berbagai perkara, mafia pemilu yang sering manipulasi data dan membeli suara rakyat, mafia di Senayan yang kerjanya hanya buat peraturan yang mengharapkan keuntungan material, serta berbagai mafia lainnya. Hal ini sering kita saksikan bersama di berbagai media. Mulai dari urusan Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN) yang menjadikan negara kita masuk sepuluh besar negara yang terkorup di dunia serta yang sering bertengger di berbagai dunia politik di negara kita ini sampai ke masalah ekonominya. Seperti masalah korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dilakukan sejumlah konglomerat. Siapakah mereka? Tentu ini ada kaitannya dengan ‘mafia’ yang sering disebut-sebut oleh Slank di lagunya Gossip Jalanan’. Kita semua tahu bahwa yang mendalangi kasus ini tentu para pejabat negeri kita yang haus akan uang. Sungguh disayangkan, masalah yang merugikan masyarakat bahkan negara kita sendiri sudah tidak diperhatikan lagi oleh mereka.
Beralih ke masalah perekonomian di negara kita. Yang mana salah satunya menjadi pusat perhatian masyarakat beberapa waktu yang lalu adalah kebijakan Pemerintah untuk mengkonversi pemakaian minyak tanah ke gas. Di pasaran harga tabung gas dan isinya justru melambung tinggi. Tidak sampai di situ, baru-baru ini pemerintah juga mengeluarkan tentang kebijakannya menaikkan harga BBM. Dengan salah satu alasannya ingin memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada pihak yang membutuhkan (masyarakat yang kurang mampu). Namun, kenyataannya masih banyak pihak yang merasa dirugikan, utamanya di kalangan menengah. Mereka harus rela mengeluarkan uang yang relatif banyak untuk mengendarai mobil umum akibat dari kebijakan pemerintah itu. Selain itu, dampak lain akibat dari kenaikan harga BBM yaitu terjadinya berbagai macam kericuhan antara mahasiswa dan pihak kepolisian yang berujung dengan kekerasan dan kerugian dari segi material. Baru-baru ini, kematian seorang mahasiswa UNAS turut menggemparkan Indonesia karena kematiannya disinyalir akibat dari tindakan anarkis para polisi. Sehingga sosok para polisi di mata mahasiswa berubah dari pengayom masyarakat menjadi ‘pembunuh’. Di samping itu, akibat dari terjadinya kericuhan belakangan ini adalah dari segi kerusakan material. Yang mana baru-baru ini, pagar gedung MPR/DPR yang baru di bangun sekitar 2 tahun yang lalu ambruk di tangan mahasiswa akibat demo yang berujung kerusuhan, sehingga mengakibatkan kerugian negara mencapai 4 miliar. Hal ini disebabkan karena pagar gedung MPR/DPR merupakan aset negara. Sehingga, uang yang semestinya dipakai untuk kepentingan rakyat beralih ke masalah tersebut, yaitu mendanai perbaikan pagar gedung MPR/DPR yang relatif banyak. Meskipun ini merupakan kebijakan yang dapat memakmurkan rakyat, tapi hal ini tidak dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Dalam kondisi ini kita sangat prihatin akan hal itu. Bagaimana tidak, solusi yang diberikan oleh pemerintah kita sendiri ternyata malah menyengsarakan kita, masyarakat Indonesia.
Beranjak ke masalah moralitas para pemimpin/pejabat bangsa kita. Baru-baru ini, tersiar kabar tentang perilaku salah satu anggota dewan (wakil rakyat) yang berinisial MM yang melakukan hubungan yang tak sewajarnya dilakukan oleh seorang pejabat kepada sekretarisnya. Sekretaris tersebut meminta pertanggungjawaban MM atas perbuatannya itu, namun MM mengelak atas tuntutan sekretarisnya. Inikah sikap seorang pemimpin? Sikap yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Sekali lagi, mereka jadikan kekuasaannya untuk melakukan tindakan –tindakan yang dapat memuaskan diri mereka, tanpa berpikir kerugian yang nantinya dapat menimpa orang lain yang berada di sekitarnya. Betapa jahat dan egoisnya mereka, dengan bergelimang harta mereka berpikir mereka mampu mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Mereka sekalipun tidak pernah memikirkan nasib orang-orang yang berada di bawahnya. Bagaimana bisa negara kita ini menjadi tentram dan sejahtera kalau pejabat di negara kita ini masih saja bersikap sewenang-wenang mereka. Maka, tidak salahlah kalau masyarakat sekarang sudah tidak percaya lagi dengan pemimpinnya.
Terkait dengan berbagai masalah di atas, beberapa bulan yang lalu Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil penelitiannya yang menyebutkan, bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus-menerus menurun. Pada bulan November 2004, kepuasan publik mencapai 80%, namun pada bulan Oktober 2007 turun tajam hingga 54%. Sentimen elektoral terhadap SBY sebanyak 47% pada bulan Oktober 2004, namun pada bulan Oktober 2007 turun menjadi hanya 33%. (Al Islam,378/Th.XIV/1428 H).
Adapun hal yang terkait dengan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, hasil survey Litbang Media Group menyebutkan bahwa kinerja hakim agung di Mahkamah Agung (MA) tidak memuaskan (75%), korupsi makin meningkat (54%) dan peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). (Al Islam,378/Th.XIV/1428 H).
Para pemimpin di negara kita ini, sungguh sangat keterlaluan. Demi mementingkan kepuasan pribadi, mereka justru rela ‘menggadaikan’ kepentingan rakyatnya sendiri. Apakah ini belum cukup bukti bahwa keegoisan mereka mengantarkan kita semua ke jurang kemiskinan. Maka wajarlah jika pembangunan ekonomi di Indonesia telah berhasil menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Inilah hasil dari kepemimpinannya.
Inilah hal yang mencerminkan betapa terpuruknya kepemimpinan di negara ini. Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul,” Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, ternyata hanya menghabiskan uang negara sebesar triliunan rupiah. Tapi, apa hasilnya? Pemilu ini tidak menghasilkan para pemimpin dan para wakil rakyat yang baik dan memihak rakyat. Malah dari hal ini, hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang bermental korup yang menyensarakan rakyat.
Demokrasi selalu cenderung dengan jargon “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Meskipun, faktanya di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit pejabat serta penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Sangat sering kebijakan Pemerintah yang telah disetujui oleh para wakil rakyat justru bertabrakan dengan kemauan rakyat sehingga timbullah demo yang dilakukan oleh rakyat sendiri. Sehingga dari sinilah kemudian timbul masalah-masalah baru yang berujung dengan kekerasan dan kerugian.
Seiring dengan kemerosotan negara kita, krisis multidimensi yang sekian lama mendera negara ini, ternyata telah memunculkan ide baru di kalangan mayarakat tentang perlunya Indonesia mencari “jalan baru”. “Pemimpin baru yang berkarakter dan bervisi kuat jelas sangat dibutuhkan. Namun, jika pemimpin baru itu tetap menempuh jalan lama, yaitu jalan yang telah terbukti gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat selama 40 tahun terakhir ini, rakyat hanya akan kembali dikhianati,” demikian kata ekonom Rizal Ramli saat deklarasi pembentukan Komite Bangkit Indonesia yang dipimpinnya di Jakarta, Rabu (31/10)( Al Islam,378/Th.XIV/1428 H). Jadi untuk mewujudkan kepemimpinan negara kita sebagaimana yang diharapkan, maka perubahanlah yang dapat mengubah negera kita ke negara yang lebih baik.
Ada dua faktor yang dapat mewujudkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik adalah sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, serta sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan tidak membawa cacat bawaan. Dari dua faktor inilah, kita dapat mewujudkan cita-cita kita menjadi negara yang aman, tenteram, dan tenang. Jauh dari keributan dan perselisihan yang sering terjadi antara pemimpin dan masyarakat. Menyangkut masalah sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah. Hal itu sangat terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan).
Berikutnya, menyangkut masalah sistem yang baik. Nabi Muhammad saw adalah sosok yang juga sangat didambakan dalam kepemimpinannya dalam Islam. Beliau sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Namun, untuk membangun masyarakat, ternyata tidak mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Dengan aturan yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia, beliau mampu mengatur, mengurusi dan memimpin masyarakat. Dari fakta inilah dapat memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu, diperlukan sistem dan aturan yang baik, bukan sistem hukum korup yang diterapkan dalam sistem pemerintahan sekuler yang notabene juga korup. Negara ini harus merombak seluruh aturannya. Terdapat banyak fakta yang menunjukkan bukti keunggulan dan kehebatan syariat Islam dalam menata kehidupan dan menyelesaikan berbagai problematika kehidupan yang telah terbukti secara historis, empiris dan normatif pernah tegak hingga mengguncang 2/3 dunia. Yang mana keamanan, kesejahteraan, keadilan, kedamaian dan kemakmuran tidak hanya dirasakan oleh ummat Islam tapi juga dirasakan oleh seluruh ummat. (Tribun Timur, 21/06/08).
Sehingga di sinilah essensinya seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah melalui institusi pemersatu ummat Daulah Khilafah Islamiah yang akan melindungi rakyatnya baik Muslim maupun non-Muslim. (Tribun Timur, 21/06/08).
Beralih ke masalah pokok kita tentang sosok pemimpin yang dapat mengubah negara kita ke negara yang lebih baik. Yaitu pemimpin yang berdedikasi tinggi, salah satu caranya adalah dengan bersikap sholeh, amanah, jujur, sederhana, menegakkan kebenaran, bertanggung jawab, dan memerangi kejahatan. Selain itu, dibutuhkan pula sikap berpendirian teguh, tegas dan tak lupa kita juga memerlukan pemimpin yang menerapkan hukum tidak pandang bulu. Kita dapat bercermin pada beberapa kisah kepemimpinan Rasullah dan para sahabatnya yang patut kita teladani, yaitu ketika Rasulullah saw pernah murka pada seorang petugas zakat suku Azad yang menerima hadiah. Beliau saw naik ke atas mimbar dan berkhutbah,” Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya tidaklah aku menugaskan seseorang atas suatu pekerjaan yang dipercayakan Allah kepadaku, kemudian ia berlaku curang, maka pada hari Kiamat ia akan datang dengan memikul unta yang mulutnya tak henti-hentinya meneteskan busa, atau sapi yang terus-terusan mengauk atau kambing yang tak berhenti mengeluarkan kotoran.” Dari kisah di atas betapa Rasulullah sangat tidak menyukai korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), hingga beliau secara tidak langsung menegur pelakunya. Inilah sosok pemimpin yang patut kita ikuti jejaknya, mulai dari kejujurannya hingga ketegasannya dalam memberantasnya.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menyita unta milik putranya sendiri, Abdullah bin Umar ra.,setelah ia tahu unta itu digembalakan di padang gembalaan yang merupakan fasilitas umum. Hasil penjualannya kemudian dibagi dua; separuh untuk putranya, separuh untuk baytul mal. Dari kisah ini kita dapat melihat betapa jujurnya beliau. Meskipun hal itu menyangkut masalah keluarganya sendiri, tapi beliau berusaha adil dalam menyelesaikan hal itu. Dia sedikit pun tidak mau menikmati sesuatu yang bukan hak miliknya.
Beliau juga selalu melakukan audit terhadap harta orang-orang yang ia angkat sebagai pejabat; sebelum dan sesudah menjadi pejabat. Jika ia melihat kelebihan, maka ia tidak segan-segan menyitanya dan disimpan di baytul mal. Umar bin Khaththab juga melakukannya terhadap Abu Hurairah yang hartanya berlipat setelah jadi gubernur. Ia memanggilnya ke Madinah dan mengambil sebagian harta miliknya untuk disimpan di baytul mal. Ini adalah kisah yang sangat menarik yang dilakukan oleh para pemimpin Islam dahulunya. Betapa arif dan bijaksananya mereka, sehingga kemakmuran dan ketentraman rakyatnya benar-benar mereka rasakan.
Seorang gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang di hadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita. Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek, Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta. Dengan heran sang Gubernur bertanya,” Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang itu seperti tetangga engkau?”,Janda bermuka buruk itu menjawab,”Sebab yang mereka cari uang sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya perlukan bukan itu melainkan bekal akhirat.” ”Maksud engkau?”, Tanya sang Gubernur. “Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu sholat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal”. Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernur merasa telah disindir tajam. Ia insyaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, takkan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.
Kita dapat melihat, betapa tidak ambisiusnya ia mengejar harta kekayaan, sampai-sampai dengan keistiqamahannyalah sehingga ia mampu menyadarkan pemimpin yang dahulunya hanya memikirkan kekayaan yang dimilikinya tanpa memikirkan kewajibannya terhadap agama.
Adapun cerita lain yang menceritakan tentang sifat amanah. Yaitu kisah Ibrahim bin Adham adalah seorang raja yang sangat besar kekuasaannya. Oleh karena kehidupan yang mewah dan serba cukup, tidak membawa ketenangan kepada jiwanya, baginda akhirnya memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa dengan mengambil upah sebagai tukang kebun. Kebun yang dijaga oleh baginda itu ada banyak pohon delimanya. Ia menjaga kebun itu dengan patuh dan rajin.Suatu hari datanglah tuan kebun itu dan meminta Ibrahim membawakan sebiji delima yang masak lagi manis kepadanya. Ibrahim pun segera ke pohon delima untuk mencari buah delima yang paling masak. Kemudian diberikannya kepada tuannya untuk dicicipi, lalu raut mukanya berubah. Kemudian berkata: “Wahai Ibrahim tolong bawakan kepada aku satu buah delima yang lebih manis”. Sekali lagi Ibrahim pergi mencari buah delima yang lain tanpa mengetahui mengapa tuannya itu menyuruh dia membawakan sebuah lagi. Setelah buah yang diberikan kepada tuannya itu dimakan, dengan spontan buah itu dibuang oleh tuannya itu. Oleh karena terlalu marah sebab buah yang dimakannya itu masih masam, ia pun berkata dengan suara yang keras: ”Wahai Ibrahim! Heran sekali aku melihat engkau. Sudah begini lama engkau menjaga kebunku, tidakkah engkau tahu yang masam dan manis?” Lalu jawab Ibrahim dengan suara yang lemah dan sopan: “Tuan, bukankah saya ini diamanahkan untuk menjaga kebun supaya senantiasa subur dengan buah-buahan, tetapi tuan tidak memberi izin kepada saya merasakan buahnya”. Betapa terkejutnya tuannya itu apabila mendengar jawaban tersebut. Tidak terduga sama sekali akan besarnya sifat amanah yang ada pada tukang kebunnya itu.
Bandingkan dengan situasi sekarang yang kian merosot. Banyaknya pejabat yang bergelimangan harta serta tanpa memerhatikan nasib orang yang berada di bawahnya. Mereka justru bangga akan kekayaan yang sebenarnya bukan hak mereka sepenuhnya. Itulah akibat jika kecerdasan intelektual seorang pemimpin tidak disertai dengan moral dan hati nurani yang baik. Sehingga, mereka hanya mampu berpikir dengan otak tanpa memakai hati nurani mereka sebagai alat penyeimbang kehidupan.
Dari berbagai uraian di atas , maka jelaslah bahwa sosok pemimpin yang kami butuhkan adalah sosok yang mau bertanggung jawab dan tidak mementingkan urusan pribadinya. Kami tidak memerlukan berbagai kampanye-kampanye yang berisi janji-janji serta sumpah palsu yang dikeluarkan dan dilakukan oleh mereka, kita hanya memerlukan uluran tangan yang ikhlas yang nantinya dapat mengubah nasib negara kita menjadi lebih baik. Karena sampai saat ini, belum ada pemimpin yang memimpin bangsa Indonesia yang bersungguh-sungguh ingin memajukan kemakmuran bangsa Indonesia.
Untuk itu, sebagai generasi muda yang paham akan hal itu. Marilah kita menyeleksi pemimpin serta pejabat yang benar-benar takwa, bukan karena nepotisme atau yang lainnya. Jangan memilih pemimpin dari janji dan hartanya. Selain itu, mereka harus digaji dengan gaji yang layak agar mereka tidak gampang tergiur melakukan korupsi. Kita tidak membutuhkan para pemimpin yang hanya bisa mengumbar janji tanpa dapat merealisasikannya. Karena pemimpin dijadikan sebagai panutan serta teladan buat para bawahannya, sehingga baik buruknya seorang bawahan tergantung dari pemimpinnya. Jadi, pilihlah pemimpin yang intelektual yang benar-benar mempunyai sikap yang amanah, jujur dan bertanggung jawab. Sehingga, kepemimpinannya di negara kita ini dapat membawa manfaat bagi kita semua, utamanya bagi masyarakat bangsa Indonesia serta yang dapat membebaskannya dari jurang kemiskinan yang sudah lama membelenggu negara kita ini.

Belajar? Kok Jenuh...?

” Semakin banyak ilmu, semakin lapang hidup
Semakin kurang ilmu, semakin sempit hidup”

-Buya Hamka

Kalimat di atas telah menggambarkan tentang pentingnya menuntut ilmu. Namun, banyak dari kita yang menganggap hal ini begitu sepele. Apa karena kegiatan ini tak menarik? Mereka yang berseragam dan berstatus pelajar ‘malah asyik nongkrong di kafe’. Kata ‘belajar’ sudah tak ingin mereka pikirkan lagi. Cita-cita yang sudah tergambar dalam benak hanya menjadi angan mereka yang tidak didukung dengan usaha utama seorang pelajar yaitu belajar.
Dari beberapa penelitian, dapat disimpulkan bahwa banyak siswa belajar karena “mood”. Mereka hanya akan belajar jika mood-nya lagi baik, namun jika tidak mereka akan pergi menghibur diri dengan cara mereka masing-masing, seperti nonton TV atau mendengarkan musik. Mereka tidak pernah sadar bahwa apa yang mereka lakukan hanya akan membuang waktu dengan hal yang sia-sia karena mereka tak mau pikirkan apa yang terjadi dua puluh tahun ke depan. Sebenarnya, mereka sedang terbuai oleh nikmat sesaat yang dihasilkan oleh peningkatan tekhnologi zaman yang kian canggih. Sehingga, mamajemen waktu mereka tidak tertata dengan baik.
Pada fenomena sekarang, ada sebagian siswa yang berpikir bahwa belajar itu hanya dilakukan di sekolah. Hal ini tentu merupakan pandangan yang salah. Bayangkan, berapa waktu yang kita habiskan di sekolah? Tentu, waktunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan waktu kita di rumah dan di luar sekolah. Namun, banyak siswa yang memelihara pandangan ini dalam kehidupannya. Mulailah dari sekarang memikirkan bahwa belajar dapat dilakukan di mana pun kita berada dengan menggunakan media apapun. Jadikan semua orang adalah guru yang dapat memberikan informasi dan alam raya adalah sekolahnya.
“Saya telah berpikir selama bertahun-tahun, 99 kali kesimpulan saya salah, dan baru yang ke-100 yang benar,” kata Albert Einstein. Coba bayangkan! Orang yang mungkin sejenius Albert Einstein dengan tingkat kesabaran yang patut diacungi jempol rela melakukan 99 kali penelitian dengan kesimpulannya. Bandingkan dengan siswa sekarang yang hanya baru melakukan sekali penelitian dan kemudian mendapat kritik dari orang lain, mereka kemudian menjadi kecewa dan putus asa serta tidak berniat lagi untuk melakukan penelitian untuk yang kedua kalinya. Justru itu kita dituntut untuk mengikuti kesabaran Albert Einstein dalam menemukan solusi untuk meraih kesuksesan.
Lain halnya dengan Henri Ford yang berkata,” Berpikir merupakan pekerjaan yang paling berat, mungkin itulah sebabnya mengapa hanya sedikit orang yang menyenanginya.” Hal ini benar karena dengan memikirkan sesuatu orang membutuhkan waktu yang lama dalam proses pemikirannya. Begitu pula dengan kata Abu Bakar Al-Khuwarizm bahwa yang menyengsarakan orang dewasa bukanlah harapannya, melainkan pikirannya.
Mitos-mitos yang sekarang berkembang adalah bahwa kesulitan belajar disebabkan oleh IQ ‘jongkok’. Pendapat itu justru keliru karena kesulitan itu tidak punya ‘mata’ yang dapat membedakan siswa yang jenius dan yang biasa-biasa saja. Jadi, kita seorang pelajar tidak perlu memercayai dengan mitos ini karena justru hal inilah yang dapat menimbulkan pikiran-pikiran negative dalam proses belajar ini.
Jadi, tingkat kejenuhan siswa dalam belajar dapat dikurangi dengan cara berusaha menikmati proses berpikir tersebut dan belajar dengan mencari cara-cara baru dalam proses belajar yang lebih asyik dan lebih menyenangkan. Kita bisa membuat proses belajar kita jadi berkesan dan menyenangkan dengan cara kita sendiri. Belajarlah karena ingin mengembangkan dan melejitkan potensi diri untuk meraih kesuksesan, sehingga ilmu yang kita peroleh pun akan melejit. Sejak awal belajar, tanamkan dalam diri Anda bahwa belajar itu mudah dan IQ Anda mampu mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, buanglah pikiran-pikiran negative tentang diri Anda!
NHURUL